BAB I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah
muncul di Indonesia merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap
sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini awalnya
merupakan pendidikan agama islam yang
dimulai sejak munculnya masyarakat islam di nusantara pada abad XIII. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (“nggon ngaji”)
.Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar atau para santri, yang kemudian disebut pesantren.Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstuktur, sehingga pendidikan pesantren dianggap sangat bergengsi.
dimulai sejak munculnya masyarakat islam di nusantara pada abad XIII. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (“nggon ngaji”)
.Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar atau para santri, yang kemudian disebut pesantren.Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstuktur, sehingga pendidikan pesantren dianggap sangat bergengsi.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mengiringi dakwah islamiyah
di Indonesia yang memiliki persepsi plural dan ponpes juga dipandang sebagai
agen pengembangan masyarakat, dimana persiapan sejumlah konsep kurikulum dan
pengembangan SDM sangat diharapkan untuk peningkatan kualitas ponpes itu
sendiri maupun peningkatan kehidupan masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
terminologi dan sejarah pesantren?
2.
Apa
sajakah fungsi-fungsi pesantren itu?
3.
Bagaimana
prinsip-prinsip pendidikan yang ada di pesantren?
4.
Apa
saja kurikulum pendidikan di pesantren?
5.
Bagaimana
metode pendidikan pesantren?
1.3
Tujuan
1.
Menjelaskan
terminology dan sejarah pesantren
2.
Menjelaskan
fungsi-fungsi pesantren
3.
Menguraikan
prinsip-prinsip pendidikan yang ada di pesantren
4.
Menjelaskan
kurikulum pendidikan di pesantren
5.
Menjelaskan
berbagai metode pembelajaran yang digunakan di pesantren
BAB II
Pembahasan
2.1
Terminologi dan Sejarah Pesantren
Istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau dua kata ini
disebut dengan pondok pesantren. Secara esensial semua makna ini mengandung
makna yang sama kecuali ada sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan
santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.
Secara terminologi K.H. Imam Zarkasyi mengartikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan islam dengan system asrama atau pondok dimana kyai sebagai figure
sentral, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama
islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya[1].
Pondok pesantren menurut M. Arifin adalah suatu lembaga pendidikan
agama islam yang tumbuh secara diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama
(komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah kedaulatan dari
leadershipseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
karismatik serta independen dalam segala hal. Lembaga Research Islam
mendefinisikan pesantren sebagai suatu tempat pendidikan dan penagajaran yang
menekankan pelajaran agama islam dan disdukung asrama sebagai temapta tinggal
snatri yang bersifat permanen[2].
Dilihat dari bentuk dan sistem yang ada, pesantren disinyalir
merupakan model pendidikan yang diadopsi dari India. Sebelum proses penyebaran
Islam di Indonesia, sistem dan model tersebut telah digunakan di India, baru
kemudian pada zaman Hindu Budha di Jawa, model atau sistem tersebut digunakan
secara umum untuk pendidikan dan pengajaran di kerajaan-kerajaan di Jawa.
Pada awal Islam di Indonesia, pesantren merupakan lembaga
pendidikan dan pengajaran Islam yang didalamnya terjadi interaksi antara kyai
atau ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid. Pelaksanaan
pengajarannya bertempat dimasjid atau halaman-halaman pondok (asrama).Sedangkan
materi pengajarannya adalah buku-buku teks keagamaan karya ulama klasik atau
lebih dikenal dengan kitab kuning.
Keberadaan pesantren yang survive dan berkembang sejak jauh sebelum
kemerdekaan menjadikan inspirasi untuk memasukkakn pesantren sebagai bagian
dari sistem pendidikan nasional. Kemampuan untuk tetap survive lebih disebabkan
bahwa ada tradisi lama yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam dalam
segi-segi tertentu masih relevan.
Model pendidikan pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan
yang berbasiskan masyarakat sebab maju berkembang atau mundurnya serta
kepemilikannya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.Namun seiring dengan tuntutan
zaman, pesantren kini telah melakukan abanyak perubahan dan pembaruan.Selain
pesantren mengajarkan pendidikan agama beberapa pesantren kini juga telah
mengembangkan komponen-komponen pendidikan lainnya, baik dalam bentuk
pendidikan formal maupun non formal seperti keterampilan, kesenian, bahasa
asing, dan pendidikan jasmani.
Pesantren dalam perkembangannya jikan dilihat dari sarana fisik
yang dimilikinya dapat dikelompokkan menjadi lima macam tipe, yaitu:
v Tipe pertama, pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah
kyai.
v Tipe kedua, pada tipe ini selain adanya masjid dan rumah kyai
didalamnya telah tersedia pula bangunan berupa pondokan atau asrama bagi para
santri yang datang dari tempat jauh.
v Tipe ketiga, tipe ini pesantren telah memiliki masjid, rumah kyai, serta
pondok. Didalamnya diselenggarkan pengajian dengan metode sorogan, bandongan,
dan sejenisnya. Selain itu pada
pesantren tipe ini, telah tersedia sarana lain berupa madrasah atau sekolah
yang berfungsi sebagai tempat untuk belajar para santri baik ilmu umum maupun
agama.
v Tipe keempat, pesantren tipe ini selain telah memiliki pondok, masjid,
ruamah kyai, juga telah dilengkapi dengan tempat pendidikan untuk pengembangan
keterampilan seperti lahan untuk peternakan dan pertanian, tempat untuk membuat
kerajinan, koperasi dan laboratorium.
v Tipe kelima, pada tipe ini pesantren telah berkembang sehingga
disebut pula sebagai pesantren modern. Selain adanya masjid, rumah kyai dan
ustadz, pondok, madrasah, terdapat pula bangunan-bangunan fisik lainnya seperti
perpustakaan, dapur umum, aula, ruang makan, kantor, toko, wisma (penginapan
untuk tamu) , tempat olahraga, bengkel, balai kesehatan, taylor, market dan
lain lain.
Menurut Zamakhsari Dhofier bentuk dan model pondok pesantren dapat
dikelompokkan menjadi dua: Pertama pondok pesantren salafi yaitu pondok
pesantren yang inti pendidikannya tetap mempertahankan pengajaran klasik. Sistem
madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang merupakan bentuk
pengajian model lama dengan tidak memperkenalkan pengajaran umum.
Kedua, pondok pesantren khalafi, ialah pondok pesantren yang dalam
pengajarannya telah memasukkan mata pelajaran umum dalam madrasah yang
dikembangkannya atau sekolah umum di lingkungan pondok pesantren, seperti
pondok pesantren Gontor yang tidak lagi mengajarkan kitab-kitab klasik (kuning),
tetapi santri tetap diharuskan dapat memahami kandungan kitab-kitab klasik
tersebut dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang telah dipelajari.
Akhirnya terlepas dari pengelompokkan tipe-tipe pesantren tersebut,
sebuah institusi dapat disebut pesantren apabila memiliki sekurang-kurangnya
tiga unsur pokok, yaitu: kyai yang memberikan pengajian, santri yang belajar
dan tinggal dipondok dan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat ngaji[3].
2.2 Fungsi Pesantren
Dari waktu ke waktu fungsi pesantren berjalan secara dinamis,
berubah dan berkembang mengikuti dinamika sosial masyarakat global. Betapa
tidak, pada awalnya lembaga tradisional ini mengembangkan fungsi sebagai
lembaga sosial dan penyiaran agama[4].
Sementara Azyumardi Azra menawarkan adanya tiga fungsi pesantren, yaitu:
1)
Transmisi
dan trnsformasi ilmu-ilmu islam
2)
Pemeliharaan
trdisi islam
3)
Regenerasi
ulama
Dalam perjalanannya hingga saat ini, sebagai lembaga sosial,
pesantren telah menyelenggarakan pendidikan formal baik berupa sekolah umum
maupun sekolah agama (madrasah,sekolah umum, dan perguruan tinggi). Disamping
itu, pesantren juga menyelenggarakan pendidikan non formal berupa madrasah
diniyah yang mengajarkan bidang-bidang ilu agama saja. Pesantren juga telah
menegembangkan funsinya sebgai lembaga solidaritas sosial dengan menampung
anak-anak Dari segala lapisan masyarakat muslim dan memberi pelayanan yang sama
kepada mereka, tanpa membedakan tingkat socsal ekonomi mereka[5].
Bahkan melihat kinerja dan charisma kyai, pesantren cukup efektif
memainkan peran sebagai perekat hubungan dan penagyom masyarakat, baik pada
tingkatan local, regional, dan nasional.Dengan berbagai peran yang potensial
yang dimainkan oleh pesantren, nampakanya dapat dikemukakan bahwa pesantren
memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, sekaligus
menjadi rujukan moral (reference of morality) bagi kehidupan masyarakat umum[6].
2.3
Prinsip-Prinsip Pesantren
Menurut K.H. Imam Zarkasyi dalam seminar Pondok Pesantren seluruh
Indonesia. Kehidupan dalam pondok pesantren memiliki prinsip-prinsip yang
dijiwai dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren yang diantaranya yakni :
1.
Jiwa
Keikhlasan
Pendidikan Pesantren tidak karena didorong oleh keinginan memperoleh
keuntungan-keuntungan tertentu, melainkan semata-mata karena untuk ibadah.
Dalam hal ini Kyai ikhlas dalam mengajar, para santri ikhlas dalam belajar,
masyarakat atau lingkungan ikhlas dalam membantu.
2.
Jiwa
Kesederhanaan
Kesederhanaan mengandung unsure kekuatan atau ketabahan hati,
penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup dengan segala kesulitan.
3.
Jiwa
Kesanggupan Menolong Diri Sendiri atau Berdikari
Berdikari dalam hal ini bahwa santri dapat berlatih mengurus
kepentingannya sendiri dan mandiri, sedangkan Pondok Pesantren sendiri sebagai
Lembaga Pendidikan yang tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan
atau belas kasihan orang lain.
4.
Jiwa
Ukhuwwah Islamiyah
Kehidupan di Pondok Pesantren diliputi suasana persaudaraan yang
akrab, sehingga segala sesuatu dirasakan bersama dengan jalinan perasaan
keagamaan. Jiwa ukhuwwah ini yang mempengaruhig persatuan ummat dalam
masyarakat
5.
Jiwa
Bebas
Bebas dalam berfikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa
depannya, dalam memilih jalan hidup di dalam masyarakat kelak bagi para santri,
dengan berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi kehidupan. Dan kebebasan ini harus berada
dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggung jawab[7].
2.4 Kurikulum Pesantren
Kurikulum
pesantren seperti yang diungkapkan oleh Saylor bersama Alex-ander meliputi
kagiatan-kegiatan intra-kulikuler dan ekstra-kulikuler, dan bisa melibatkan di
samping aktivitas yang diperankan oleh santri dan juga kyai.[8]
Ketika masih berlangsung di langgar (surau) atau masjid, kurikulum
pengajian masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa inti ajaran Islam
yang mendasar. Rangkaian trio ajaran islam yang berupa iman, islam dan ihsan. Penyampaian
tiga komponen ajaran Islam tersebut dalam bentuk yang paling mendasar, sebab disesuaikan
dengan tingkat intelektual dengan masyarakat (santri) dan kualitas
keberagamaannya pada waktu itu.
Peralihan dari langgar (surau) atau masjid lalu berkembang menjadi
pondok pesantren ternyata membawa perubahan materi pengajaran. Dari sekedar pengetahuan
menjadi suatu ilmu. Dari materiyang hanya bersifat doctrinal menjadi lebih
interpretative kedati dalam wilayah yang sangat terbatas. Mahmud Yunus
mencatat, “ilmu yang mula-mula diajarkan di pesantren adalah ilmu sharaf dan
nahwu, kemudian ilmu tafsir, ilmu fiqih,
tafsir, ilmu kalam (tauhid), akhirnya sampai kepada ilmu tasawuf dan sebagainya[9].
Di masa sekarang, menurut istilah Abdurrahman Wahid, sistem
pendidikan di pesantren tidak didasarkan pada kurikulum yang digunakan secara
luas, tetapi diserahkan pada penyesuaian yang elastis antara kehendak kyai dan
santrinya secara individual[10].
2.5 Metode Pembelajaran Pesantren
Dalam rangkaian system pengajaran, metode menempati urutan sesudah
materi (kurikulum). Penyampaian materi tidak berarti apapun tanpa melibatkan
metode. Metode selalu mengikuti materi, dalam arti menyesuaikan dengan bentuk
dan coraknya, sehingga metode mengalami transformasi bila materi yang
disampaikan berubah. Akan tetapi, materi yang sama dapat dipakai metode yang
berbeda-beda.
Kategori pesantren tradisional dan modern ternyata mengakibatkan
perubahan metode. Departemen Agama RI melaporkan bahwa metode penyajian atau
penyampaian di pesantren ada yang bersifat tradisional seperti wetonan
(bandongan), sorogan, muhawarah, dan mudzakarah[11]. Dan ada pula metode yang bersifat non
tradisional (metode berdasarkan pendekatan ilmiah)[12].
BAB III
Penutup
3.1
Kesimpulan
Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam dengan system asrama
atau pondok dimana kyai sebagai figure sentral, masjid sebagai pusat kegiatan
yang menjiwainya, dan pengajaran agama islam di bawah bimbingan kyai yang
diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
Azyumardi Azra menawarkan adanya tiga fungsi pesantren, yaitu:
a.
Transmisi
dan trnsformasi ilmu-ilmu islam
b.
Pemeliharaan
trdisi islam
c.
Regenerasi
ulama
Kehidupan dalam pondok pesantren memiliki prinsip-prinsip yang
dijiwai dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren yang diantaranya yakni :
a.
Jiwa
keikhlasan
b.
Jiwa
kesederhanaan
c.
Jiwa
berdikari
d.
Ukhuah
islamiyah
e.
Jiwa
bebas
Mahmud Yunus mencatat, “ilmu yang mula-mula diajarkan di pesantren
adalah ilmu sharaf dan nahwu, kemudian
ilmu tafsir, ilmu fiqih, tafsir, ilmu kalam (tauhid), akhirnya sampai keada
ilmu tasawufdan sebagainya. Di masa sekarang, menurut istilah Abdurrahman
Wahid, sistem pendidikan di pesantren tidak didasarkan pada kurikulum yang
digunakan secara luas, tetapi diserahkan pada penyesuaian yang elastis antara
kehendak kyai dan santrinya secara individual.
Departemen Agama RI melaporkan bahwa metode penyajian atau
penyampaian di pesantren ada yang bersifat tradisional seperti wetonan
(bandongan), sorogan, muhawarah, dan mudzakarah. Dan ada pula metode yang
bersifat non tradisional (metode berdasarkan pendekatan ilmiah).
3.2 Daftar Pustaka
Arifin,
Imron. 1993. Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang:
Kalimasahada.
Departemen
Agama RI. 1984/1985. Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di
Pondok Pesantren. Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren.
Hidayat,
Ara, & Machali, Imam. 2012. Pengelolaan Pendidikan; Konsep, Prinsip dan
Aplikasi Dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Kaukaba.
HS, Mastuki.
2005. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren Dari Transformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Wahid,
Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: CV. Dharma Bakti.
Wiryosukarto,
Amir Hamzah. 1996. Biografi K.H. Imam Zarkasyi. Dari Gontor Merintis
Pesantren Modern. Ponorogo: Darussalam Press.
Yunus, Mahmud.
1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zarkasyi, Imam.
1930. Diktat Kuliah Umum Pondok Modern Darussalam Gontor. Ponorogo:
Darussalam Press.
[1] Amir Hamzah
wiryosukarto, Biografi K.H. Imam Zarkasyi; Dari Gontor Merintis Pesantren
Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996) hlm. 51.
[2] Mujamil Qomar,
Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta:
Erlangga. 2005), hlm. 1-2.
[3] Ara Hidayat
dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan; Konsep, Prinsip dan Aplikasi Dalam
Mengelola Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Kaukaba. 2012), hlm. 294-296.
[4]Mastuki HS,
Manajemen Pondok Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), hlm. 90-91.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] K.H. Imam
Zarkasyi, Diktat Kuliah Umum Pondok Modern Darussalam Gontor (1930), hlm. 11-14.
[8]Mujamil Qomar,
Op.Cit., hlm. 109.
[9] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985), hlm. 232.
[10] Abdurrahman
Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta: CV. Dharma Bakti, t.t.), hlm. 101.
[11] Imron Arifin,
Kepemimpinan Kiai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada Press,
1993), hlm.37.
[12] Departemen
Agama RI., Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di Pondok Pesantren
(Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren, 1984/1985) hlm.83.
0 komentar:
Posting Komentar