BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lintasan
sejarah mencerminkan perkembangan peradaban manusia di muka bumi. Gelombang
perubahan tersebut terejewantahkan dalam perkembangan kehidupan sosialnya.
Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan
perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya.
Secara teologis,
pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme dari dinamisme menuju ke
politeisme, dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu
pengetahuan, dari teosentris, ke empirisme, dari empiris ke rasionalisme, dari
rasionalisme ke positivisme, dari positivisme ke materialisme, dari
materialisme ke idealisme dan pada tataran tertentu intuisionisme juga mendapat
posisinya sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai simbol telah diciptakan
manusia untuk dilekatkan mewakili bahasa manusia dalam menyebut pergeseran
paradigma pemikiran dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu.
Kerangka
pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah frame besar yakni
masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara
siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme
manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio
manusia seolah-olah sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia
pada sebuah kehidupan yang seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan
perkembangan teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme
dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah
menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream
pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan
sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan pergeseran
paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang cukup
signifikan yang merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala
lingkup dan permasalahannya. Disinilah
paper ini akan mencoba memberikan paparan yang komprehensip berkaitan
dengan Postmodernisme dan kritik ilmu pengetahuan modern[1].
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah
arti dari postmodernisme?
2.
Apakah
pengaruh filsafat postmodernisme terhadap pendidikan?
3.
Bagaimanakah
implikasi postmodernisme terhadap paradigma pendidikan di Indonesia?
1.3
Tujuan
1.
Dapat
menjelaskan arti postmodernisme
2.
Dapat
menjelaskan pengaruh filsafat postmodernisme terhadap pendidikan
3.
Dapat
menjelaskan implikasi postmodernisme terhadap paradigma pendidikan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Postmodernisme
Postmodernisme
adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.
Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai
teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh
yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun
kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme
adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan
Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit
menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi
beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk
modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi
Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai[2].
2.2 Pengaruh
Filsafat Postmodernisme Terhadap Pendidikan
Berdasarkan
ciri menonjol postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas
serta deferensiasi, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini
terhadap paradigma pendidikan. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di
lapangan bahwa sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi terdapat sejumlah
fakta, di antaranya adalah[3]:
1)
Muatan
kurikulum dan pelaksanaannya oleh para guru cenderung lebih mengutamakan
banyaknya materi pelajaran yang diberikan (overload). Guru dibebani target
menghabiskan materi. Devinisi keberhasilan proses pendidikan lantas diukur
dengan angka-angka kuantitatif, baik angka perolehan ujian maupun persentase
kelulusan peserta ujian. Akibatnya pendidikan hanya menjunjung tinggi supremasi
otak.
2)
Proses
pendidikan berlangsung dalam komunikasi “satu arah” dari guru kepada siswa.
Situasi demikian dapat kesempatan untuk menyampaikan kreatifitas berpikir dan
sikap siswa. Teori lebih diutamakan sehingga kehilangan keterkaitan aplikasinya
dengan dunia nyata.
3)
Birokrasi
pengelola pendidikan mempunyai “kekuasaan” yang acapkali bertolak belakang
dengan tujuan pendidikan. Memang di zaman kini, penyeragaman tidak lagi menjadi
persoalan penting. Di sisi lain, atas nama otonomi pun bisa memunculkan praktik
di lapangan yang membebani pengelola langsung di tingkat sekolah.
Selama
ini, materi pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan
pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif
postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral,
krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan
rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang
cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio
manusia tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem
yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan yang hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau
nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak
awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan
manusia. Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat
dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar
rasional dan nalar spiritual. Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam
konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan
pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik. Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah
tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya,
proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar
tetap berjalan.
Kritik
postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik
atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan
nilai yang dimiliki manusia.Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil
memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan.
Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai
tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme, deferensiasi atau
desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan,
relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan
peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu
diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat khususnya di Indonesia.
2.3 Implikasi
Postmodernisme Terhadap Paradigma Pendidikan di Indonesia
Bangsa
Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang,
termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah
mereformasi sejumlah fakta negatif pada
sistem pendidikan nasional ke arah perbaikan. Menurut Kartono yang perlu dilakukan secara mendasar adalah perubahan paradigma
antara lain[4]:
a.
Dari
pendidikan yang menekankan segi kognitif menuju pendidikan yang menekankan
seluruh segi kemanusiaan yang lebih utuh.
b.
Dari
pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan guru/dosen menuju kepada
pembelajaran yang lebih menekankan peserta didik aktif untuk mengembangkan diri
dan mengkonstruksi pengetahuan mereka. Secara sistematis telah diperkenalkan
metodologi CTL (Contextual Teaching & Learning) yang memungkinkan guru
cermat membangun pengalaman bagi siswa.
c.
Dari
pendidikan yang hanya memperhatikan hasil akhir menuju pendidikan yang
menghargai proses dan memperhatikan perkembangan peserta didik. Kejujuran
sebagai bagian dari proses perlu menjadi perhatian dalam pendidikan di jenjang
manapun.
d.
Dari
kurikulum yang berorientasi pada banyaknya materi menuju kepada kurikulum yang
memperhatikan konsep dasar, tantangan zaman, dan juga kebutuhan lokal. Ada
peluang untuk memilih materi yang sesuai konteks setempat.
e.
Dari
pendidikan yang hanya dikelola oleh sekolah/institusi menuju pendidikan yang
dikelola dan menjadi tanggung jawab sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
f.
Dari
pendidikan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter menuju pendidikan
yang lebih desentralistik, otonom, demokratis, dan dialogal.
g.
Dari
pendidikan yang membedakan gender menuju kepada pendidiokan yang lebih
menghargai semua gender baik perempuan maupun laki-laki.
h.
Dari
pendidikan yang diasingkan dari masyarakat menuju pendidikan yang peka dan
kritis terhadap masyarakat.
i.
Dari
pendidikan yang mengakibatkan orang hidup eksklusif menuju pendidikan yang
membantu setiap orang menjadi saudara, sesama, sahabat yang dapat bekerja sama
membangun dirinya yang damai dan maju.
Adapun ikhtiar untuk merealisasikan paradigm tersebut antara
lain diawali dengan dibentuknya Komite
Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk menyempurnakan Undang-Undang No
2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain mempersiapkan RUU
Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan menyiapkan aturan pelaksanaannya dengan
beberapa argumentasi berikut[5]:
a)
dengan
mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam 10
tahun usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap sudah
kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali
substansi muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi
akomodatif bagi kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan
nasional. Semangat sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola
pendidikan nasional, selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai
sub-ordinat kekuasaan, juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan
kekinian dan kemasadepanan.
b)
Mau
tidak mau, kelahiran UU No. 22/2999 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) dalam
beberapa hal mesti berbenturan dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut
mengisyaratkan adanya kewenangan penuh bagi daerah untuk mengelola daerahnya
secara mandiri. Terlebih-lebih diketahui, pemerintah pusat tidak lagi memiliki
kewenangan untuk mengelola pendidikan nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD
menyatakan bahwa satu diantara 11 kewenangan bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan
kebudayaan.
c)
Menurut
Francis Wahono dalam artikelnya “Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetensi dan
Keadilan” disebutkan bahwa dari berbagai
kajian hasil Konferensi Asia Pasifik mengenai pelaksanaan Education for All
(EFA) yang berlangsung di Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas
bahwa ada persoalan serius dalam hal pembiayaan pendidikan nasional
masing-masing negara, dimana kenaikan nasional setiap negara untuk pendidikan (dasar) cenderung menurun
lima tahun terakhir. Bantuan internasional memang naik 3,8 milyar dollar pada
1985, namun kemudian berhenti. Artinya, negara-negara donor gagal memenuhi
komitmennya memberi 0,7 % GNP-nya guna membantu negara-negara berkembang,
sehingga target alokasi 20 % untuk sektor pembangunan sosial terpenuhi.
Sementara anggaran untuk pendidikan di Indonesia, pada tahun 1998/1999 berkisar
8 % dan telah menurun menjadi 6 % pada
tahun 1999/2000. Anggaran pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang belum
mencapai 20 % meskipun sudah memasuki tahun 2009.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern
dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori,
namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu
yang tunggal.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan bahwa sejak
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi terdapat sejumlah fakta, di antaranya
adalah:
·
Muatan
kurikulum dan pelaksanaannya oleh para guru cenderung lebih mengutamakan
banyaknya materi pelajaran yang diberikan (overload).
·
Proses
pendidikan berlangsung dalam komunikasi “satu arah” dari guru kepada siswa.
·
Birokrasi
pengelola pendidikan mempunyai “kekuasaan” yang acapkali bertolak belakang
dengan tujuan pendidikan.
Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah mereformasi sejumlah
fakta negatif pada sistem pendidikan
nasional ke arah perbaikan. Menurut Kartono
yang perlu dilakukan secara
mendasar adalah perubahan paradigma antara lain :
·
Dari
pendidikan yang menekankan segi kognitif menuju pendidikan yang menekankan
seluruh segi kemanusiaan yang lebih utuh.
·
Dari
pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan guru/dosen menuju kepada
pembelajaran yang lebih menekankan peserta didik aktif untuk mengembangkan diri
dan mengkonstruksi pengetahuan mereka
·
Dari
pendidikan yang hanya memperhatikan hasil akhir menuju pendidikan yang
menghargai proses dan memperhatikan perkembangan peserta didik.
·
Dll
3.2 Daftar Pustaka
Ismail, Mohammad. 2013. Postmodernisme dan Kritik Ideologis
Terhadap Ilmu Pengetahuan. (Online). Tersedia: http://mohismaiel.blogspot.com/2013/06/postmodernisme-dan-kritik-edeologis_22.html (17 Desember 2013).
Mahbubah, Ainul. 2013. Filsafat Postmodernisme Tentang
Pendidikan dan Kurikulum. (Online). Tersedia: http://banjirembun.blogspot.com/2013/10/filsafat-postmodernisme-tentang.html (17 Desember 2013).
[1] Mohammad Ismail, Postmodernisme
dan Kritik Ideologis Terhadap Ilmu Pengetahuan, Diakses Dari http://mohismaiel.blogspot.com/2013/06/postmodernisme-dan-kritik-edeologis_22.html
(Akses 17 Desember 2013)
[3] Ainul Mahbubah, Filsafat
Postmodernisme Tentang Pendidikan dan Kurikulum, Diakses Dari http://banjirembun.blogspot.com/2013/10/filsafat-postmodernisme-tentang.html
(Akses 17 Desember 2013)
[4] Ibid.
[5] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar